Jumat, 30 Juli 2010

Penyebab Pertikaian Alim Ulama Hingga Hari Ini

Menurut pendapat saya ( Maulana Zakariyya rah.a ) yang hina ini, terdapat dua sebab terjadinya pertikaian yang semakin bertambah hingga hari ini. Satu penyebab ditujukan kepada alim ulama itu sendiri, dan yang satu lagi ditujukan kepada masyarakat umum.

Penyebab Pertama:

Kesalahan ulama ialah mereka tidak membatasi masalah perselisihan itu pada kalangan alim ulama saja, tetapi mereka telah menyimpang arahnya, lalu menyiarkannya ke masyarakat awam dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan masyarakat umum dalam 'peperangan' mereka. Dengan bantuan dan dukungan masyarakat umum, mereka berusaha menyakiti dan menghina ulama lawannya.

Seharusnya, cara bertindak mereka adalah dengan cara menyampaikan pandangan dan hasil kajian mereka di tengah forum alim ulama tanpa rasa takut dan gentar. Katakanlah apa yang mereka pikirkan adalah haq. Dan mereka pun jangan gentar atas tuduhan dan kritikan yang dilontarkan ke atas mereka. Dan jangan terpengaruh apakah orang mengamalkan atau tidak hasil kajian mereka. Ingatlah, bahwa mereka adalah dari ahli haq. Kebenaran mereka tidak tergugat, baik orang mengikuti mereka atau tidak. Jika tidak ada seorang pun yang mengikuti pendapatnya, apa bedanya?

Terdapat sebagian Nabi Allah yang hanya memiliki seorang pengikut. ( Kitab Misykat ). Apakah ini bermakna; terdapat kecacatan pada kemuliaan Nabi ini? Lihat sahabat Abu Dzar ra.. Ia berfatwa; sama sekali jangan mengumpulkan harta. Fatwanya bertentangan dengan sebagian besar sahabat ra., namun ia terus menyebarkan fatwanya tersebut di setiap pertemuan yang ia hadiri, tidak peduli apakah orang menerimanya ataupun tidak.

Secara khusus, penting mewaspadai suasana yang di dalamnya terdapat kumpulan orang-orang awam yang tidak memahami seluk beluk perbedaan pendapat di kalangan ulama. Seorang ulama perlu menahan diri dari menyatakan perbedaan pendapat mereka secara terbuka. Mereka perlu menyatakannya di kalangan alim ulama saja. Walau bagaimanapun, jika dikhawatirkan ia akan dituduh bersalah karena menyembunyikan ilmu atau karena untuk rnenyampaikan tujuan kepentingannya, maka hal-hal itu mesti dinyatakan. Bahkan, lakukanlah dengan segala kemampuan! Tetapi jika perkara ini dinyatakan di hadapan orang awam yang dapat memahami dengan baik lalu memaksa mereka menjadi pendukung setia, lalu menjadi pendukung setia fatwanya, maka ini salah besar!

Alim ulama hendaknya memahami bahwa jika para ulama ahli haq tidak menyetujui, ini bermakna terdapat ruang bagi orang-orang awam untuk beramal dengan kedua pendapat yang berbeda. Bukankah hal ini yang kita lihat pada hari ini? Anda menaikkan semangat orang awam agar menentang pihak lawan. Hasilnya, emosi para pengikut pihak lawan pun akan naik terhadap Anda. Jadi, Anda sendiri dapat membayangkan rentetan dan hasil apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bagi diri kita, kita memiliki teladan leluhur kita yang dahulu. Sudah menjadi amalan umum bagi para sahabat yaitu mendirikan shalat Witir tiga rakaat, namun Mu'awiyah ra. biasa melakukannya hanya satu rakaat shalat. Hal ini telah terlihat oleh Kuraib, hamba Ibnu Abbas ra. yang telah merdeka. Hal itu ia laporkan kepada Ibnu Abbas ra.. Ibnu Abbas ra. berkata, "Jangan engkau menentangnya, karena ia juga seorang ahli fiqih yang termasyhur." ( Hadits Riwayat Bukhari ).

Pada saat shalat safar, Abdullah bin Mas'ud ra. dan hampir semua sahabat ra. biasa mendirikan shalat fardhu dengan hanya dua rakaat ( bukan empat rakaat ). Seseorang memberitahunya bahwa di Mina, Utsman ra. melakukannya empat rakaat ( dalam keadaan masih safar ). Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Inna lilahi wa inna ilaihi raaji'un. Sesungguhnya aku bersama Rasulullah saw. melakukan dua rakaat di Mina, bersama Abu Bakar dua rakaat, bersama Umar pun dua rakaat."

Menurut hadits yang lain, Ibnu Mas'ud ra. juga melakukannya dua rakaat bersama Utsman ra. pada masa awal kekhalifahannya. Namun demikian, diriwayatkan dalam Shahih Abu Dawud bahwa Abdullah bin Mas'ud ra. melakukan empat rakaat bersama Utsman ra., sehingga seseorang berkata, "Mengapa dahulu engkau menentang Utsman melakukan empat rakaat ( di Mina ), sedangkan engkau sekarang melakukannya empat rakaat ( bukan dua rakaat )." Beliau menjawab, "Menentang Khalifah adalah sesuatu yang sangat berbahaya."

Alasan jawaban di atas adalah jelas, karena Abdullah bin Mas'ud ra. menganggap Utsman ra. adalah seorang musafir ( jadi ia perlu melakukan dua rakaat saja ). Namun ia telah berniat untuk tinggal, maka ia harus shalat empat rakaat. Abdullah bin Mas'ud ra. seorang mujtahid, demikian juga Utsman ra., sehingga Abdullah bin Mas'ud ra. tidak menganggap fatwanya itu wajib diikuti oleh orang lain.

Seseorang bertanya kepada Umar ra., "Apakah engkau akan melantik seorang khalifah penggantimu?" Beliau menjawab, "Jika aku tidak melantik penggantiku, maka itu tidak kulakukan karena Rasulullah saw. tidak melakukannya ( berdasarkan perintah Al Qur’an ). Dan jika aku melantik penggantiku, aku melakukannya karena Abu Bakar telah melantikku."


Menurut Abu Bakar ra., setelah memerangi mereka yang enggan membayar zakat, maka harta benda mereka menjadi ghanimah ( harta rampasan ), keluarga mereka menjadi hamba. Umar ra. tidak setuju dengan fatwa ini. Demikianlah fatwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra., dan telah diterima oleh Umar ra. dan para sahabat lainnya. Tetapi pada masa kekhalifahan Umar ra., fatwa Umar ra. juga diterima dan diamalkan oleh yang lainnya. ( Sumber: Kitab Fathul Bari ).

Dalam pandangan Imam Syafi'i rah.a., membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh adalah sunnah. Namun pada suatu ketika, beliau menziarahi kubur Imam Abu Hanifah rah.a.. Dan ketika memasuki waktu shalat Shubuh, sengaja ia tidak membaca doa Qunut tersebut ( riwayat yang lain juga menyebutkan bahwa ia pun tidak membaca bismilah secara jahar ( kuat ), padahal berdasarkan fatwanya hal itu sunnah. Ketika ia ditanya mengenai hal ini, ia menjawab, "Karena beradab dengan penghuni kubur ini ( Imam Abu Hanifah rah.a.), sehingga aku meninggalkannya."

Sebagian orang mempermasalahkan hal ini dengan berkata, "Bagaimana pengamalan sunnah bisa ditinggalkan semata-mata karena menghormati seseorang." Kepribadian dan derajat Imam Syafi'i rah.a. demikian tinggi, dan kita dapat mengatakan bahwa ia sengaja meninggalkan sunnah tersebut karena orang lain padahal ia seorang mujtahid.

Masalah ini perlu dipahami betul-betul. Imam Syafi'i rah.a. sebenarnya tidak meninggalkan sunnah karena menghormati Imam Abu Hanifah rah.a.. Apa yang dilakukannya sebenarnya pada saat tersebut, tahqiq ( kajian ) yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah rah.a. adalah lebih utama daripadanya. Berdasarkan tahqiq yang dilakukan oleh Abu Hanifah rah.a., masalah-masalah tadi bukanlah sunnah. Menurutnya membaca Qunut dalam shalat Shubuh bukanlah sunnah dan membaca bismilah dengan jahr pun bukan sunnah. Apakah salah bagi seorang mujtahid besar, jika ia sendiri berfatwa sesuatu itu sunnah lalu mengamalkan tahqiq orang lain yang "juga seorang mujtahid yang ternama dan mulia?

Alim ulama Al-Muhaqqiqin dan kalangan Syafi'iyah mensahkan peristiwa ini. Ibnu Hajar Makki rah.a. walaupun tergolong sebagai ulama kalangan Syafi'iyah menulis, "Sebagian orang meragukan peristiwa ini. Sebenarnya, tidak perlu diragukan dan tidak perlu dibantah. Kadangkala masalah yang timbul dan bertentangan dengan sunnah pada saat itu adalah lebih utama. Misalnya, memberi penghormatan kepada ulama adalah wajib pada suatu masa, terutama di hadapan orang-orang yang ada hasad dan dengki terhadap ulama. Kewajiban ini disetujui kesepakatannya. ( Hadits Riwayat Muttafaqun Alaihi ).
Sedangkan masalah Qunut dan Bismilah jahr atau perlahan adalah sekadar perbedaan pendapat dengan beragam pendapat.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Perbedaan Antara Empat Imam Mujtahidin

Kita melihat demikian banyak masalah fiqih, yang para sahabat dan para tabi'in saja berselisih pendapat mengenainya. Kita pun mendapatkan perbedaan pendapat di kalangan empat Imam mujtahidin selama 1200 tahun. Setiap Imam mempunyai berjuta-juta pengikut yang beramal dengan madzhab mereka masing-masing. Saya ( Maulana Zakariyya rah.a. ) pernah menghitung dan mengumpulkan pendapat-pendapat yang berbeda di kalangan mereka dalam masalah empat rakaat shalat. Dan hasilnya, orang kerdil seperti saya ini telah menjumpai 150 perbedaan pendapat di antara mereka!! Berapa banyak lagi yang dapat dikumpulkan oleh orang yang lebih baik daripada saya?

Perbedaan mengenai saat pada hari Jumat yang doa akan dimakbul-kan oleh Allah, saat yang mana? Perbedaan mengenai penentuan kedatangan Lailatul Qadar kurang lebih terdapat lima puluh pendapat ( Kitab Aujaz Masaalik ). Mengenai perintah Al Qur’an agar kita menjaga shalat Wustha, yaitu shalat yang di tengah-tengah, terdapat 22 qaul. Demikianlah telah menjadi tabi'at bahwa mesti terjadi suatu perbedaan pendapat dan hal itu telah terjadi dari masa ke masa.

Sekarang saya bertanya kepada Anda, "Adakah ini suatu fitnah ataukah maksiat? Apakah umat akan terjerumus ke dalam kebinasaan dan bala musibah disebabkan hal ini atau kita harus mengakui bahwa umat ini memiliki kemudahan dan kelonggaran di dalamnya?"

Berbagai kitab telah menyatakan mereka yang bergembira dengan adanya perbedaan ini. Anda telah mengetahui bagaimana sikap Umar bin Abdul Aziz ra. yang senang atas hal ini.
Ketika Khalifah dari Klen Abbasiah, Abu Ja'far Al-Mansur menunaikan ibadah haji, ia bertemu Imam Malik rah.a.. Ia meminta Imam Malik rah.a. agar memperbanyak salinan kitab-kitabnya. Khalifah menyatakan hasratnya untuk menyebarkan salinan-salinan tersebut ke seluruh wilayah kerajaan-nya dan memerintahkan semua rakyatnya agar mengikutinya dan tidak melanggar hal ini. Imam Malik rah.a. tidak menyetujuinya dan berkata, "Berbagai hadits telah sampai di berbagai tempat dan setiap jamaah mengikuti dan mengamalkan sesuai dengan hadits yang dilaporkan dan diterima oleh mereka. Maka biarkanlah mereka beramal dan mengikuti madzhab mereka."
Kemudian Khalifah dari klen Abbasiah yang lain, Harun Al Rasyid juga telah bermusyawarah dengan Imam Malik rah.a. dengan berkata, "Aku berhasrat agar naskah Al-Muwaththa Imam Malik diletakkan di dalam Ka’bah dan mengumumkan bahwa wajib setiap orang beramal dengannya." Ini pun tidak disetujui oleh Imam Malik sambil berkata, "Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sahabat ra. dalam hukum-hukum furu'. Dan mereka betul dalam itjtihad mereka. Hukum-hukum telah tersebar jauh dan banyak orang yang telah beramal menurut hukum-hukum tersebut ( jangan melarang dan membingungkan mereka )." Dan Khalifah Harun Al Rasyid sangat gembira dengan jawaban ini. ( Sumber: Kitab Aujazul Masalik ).

Perbedaan antara madzhab Hanafi dan Syafi'i telah dikenal oleh umum. Di dalam sebagian besar masalah hukum mereka terdapat pandangan-pandangan yang berbeda. Namun Imam Syafi'i rah. a. berkata, "Siapa yang ingin menjadi seorang faqih, hendaklah ia mengkaitkan dirinya dengan salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Aku sendiri menjadi seorang faqih melalui kitab-kitab Imam Abu Muhammad ( pengikut Imam Abu Hanifah rah. )."

Imam Abu Hanifah rah.a. berkata kepada para pengikutnya, "Siapa saja yang menemukan hujjah yang bertentangan dengan madzhabku, maka terimalah ia." Mengenai hal ini, pengarang Kitab Durrul Mantsur menulis, "Yang mendasari kata-kata Imam Hanafi rah.a. adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama menunjukkan rahmat, dengan syarat perbedaan itu sesuai dengan syariat dan kaidah-kaidah agama. Lebih besar perbedaannya, lebih banyak rahmatnya." ( Kitab Syami ).

Orang-orang yang terhormat ini, tidak ada bimbang sedikit pun dengan segala perbedaan di antara mereka. Sekarang saya bertanya, "Perhatikanlah juga perkara yang alirn ulama tidak berbeda pendapat mengenainya. Apakah yang terjadi pada masalah tersebut, seperti shalat, janggut, arak, uang bunga dan yang lainnya. Apakah ada perbedaan tentang kewajiban shalat? Bagaimanakah keadaannya? Juga yang lain-lainnya. Bagaimana pemeliharaan kaum muslimin atas semua itu adalah jelas dan Anda dapat melihat pengaruhnya."

Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Kamis, 29 Juli 2010

Perselisihan Pendapat Di antara Para Sahabat ra.

Demikian juga terdapat banyak perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para sahabat r.a.. Abu Ja'far Mansur rah.a. mengharamkan Imam Malik rah.a. menulis kitab yang bebas dari kekerasan Abdullah bin Umar ra. dan kelembutan Abdullah bin Abbas ra. ( lihat Kitab Aujazul Masalik ). Ini menunjukkan perbedaan di antara keduanya sama seperti kedua orang sahabat yang terkemuka tadi.

Kita pun mengetahui bahwa banyak masalah fiqih yang menjadi perbedaan di kalangan sahabat ra.. Siapa yang mengkaji dan membaca Shahih Tirmidzi, tentu mengetahuinya. Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang bersalah karena dosa liwath ( homo seksual ). Anda akan mengetahui bahwa Abu Bakar ra. berpendapat bahwa ia perlu dibakar hingga mati. Ibnu Abbas ra. berkata, hendaknya ia dibuang dengan kepala lebih dahulu dihujamkan dari tempat yang tinggi. Menurut beberapa sahabat yang lainnya, hendaklah ia dibunuh.

Menurut Umar ra., menyentuh kemaluan itu membatalkan wudhu, tetapi menurut Ali bin Abi Thalib r.a. dan Abdullah bin Mas'ud ra. tidak membatalkan wudhu. Menurut jumhur ( mayoritas ) sahabat ra. mubah berwudhu dengan air laut, sedangkan Ibnu Umar ra. berpendapat makruh. Menurut kebanyakan sahabat ra. adalah mustahab, sedangkan Abu Hurairah ra. berpendapat wajib. Umar bin Khaththab ra. dan Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa menjerit dan meratapi mayat adalah menyiksa mayat, sedangkan Aisyah ra. dengan keras menyangkalnya.

Imam Zuhri rah.a. meriwayatkan bahwa terdapat perbedaan antara Abdullah bin Abbas ra. dan Abu Hurairah ra. mengenai puasa yang tertinggal pada bulan Ramadhan, apakah patut diganti dengan cara terus menerus atau selang-seling. Dan banyak sahabat ra. yang berpendapat bahwa wudhu bisa batal setelah memakan makanan yang dimasak oleh api. Di antara mereka yang berpegang dengan pendapat ini adalah Anas ra., Abu Hurairah ra., Ibnu Umar ra., Aisyah ra. dan lain-lainnya, tetapi menurut keempat khalifah dan jumhur sahabat, itu tidak membatalkan wudhu. Abdullah bin Umar ra. menganut paham bahwa dalam tayammum perlu mengusapkan tangan yang berdebu hingga ke siku, sedangkan Ali ra. berpendapat cukup hingga ke pergelangan tangan.

Abdullah bin Umar ra. dan Anas ra. berpendapat bahwa jika keledai buang air kecil di depan orang yang sedang shalat, batallah shalat tersebut. Sedangkan Utsman ra., Ali ra. dan yang lainnya berkata bahwa shalat tersebut tidak batal.

Jika ada dua orang yang sedang shalat bersama imam, maka menurut para sahabat ra., imam hendaklah berdiri di depan. Sedangkan Abdullah bin Mas'ud ra. berkata imam hendaklah berdiri diantara dua orang dalam barisan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa, di antara Umar bin Khaththab ra. dan putranya sendiri, Abdullah bin Umar r.a. terdapat banyak perbedaan pendapat dalam urusan fiqh. Seseorang bertanya kepada Hasan Al-Basri, "Mengapa Ibnu Umar ( Abdullah bin Umar ) melakukan shalat Witir tiga rakaat dengan memberi salam di antaranya ( ia shalat dua rakaat dengan salam lalu menambah satu rakaat lagi dengan salam )?" Hasan ra. menjawab, "Umar ( maksudnya Umar bin Khaththab, ayahnya ) shalat tiga rakaat sekali dan ia lebih faqih ( menguasai ilmunya ) daripada Ibnu Umar ra.." ( Sumber: Kitab Hasyiyah Bukhari ).


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Perbedaan Antara Abu Bakar ra. dan Umar ra.

Rasulullah saw. bersabda, "Ada dua malaikat di langit. Yang satu menghukum dengan keras dan yang lainnya ringan ( lembut ). Keduanya betul. Yang satu adalah Jibril dan yang lainnya Mikail. Terdapat dua Nabi, seorang menghukum keras dan seorang menghukum lembut, keduanya benar. Seorang ialah Ibrahim as. dan yang lainnya adalah Nuh as.. Dan ada dua sahabatku. Seorang menghukum keras dan yang lainnya lembut. Keduanya benar. Seorang ialah Umar bin Khaththab dan yang lainnya adalah Abu Bakar." ( Sumber : Kitab Jami'ush Shaghir – Hadits Riwayat Thabrani, Abu Asakir : Dari Ummi Salamah yang katanya dhaif, tetapi Azizi berkata sanadnya shahih ).

Camkanlah dalam ingatan Anda, bahwa alim ulama, para sufi dan semua tokoh di setiap zaman masing-masing selalu memiliki perbedaan. Kadangkala disebabkan perbedaan tabiat/ karakter, di antara ulama ahli haq pun terjadi perbedaan. Ada yang condong bersikap keras dan yang condong bersikap lembut. Perbedaan pendapat antara Abu Bakar ra. dan Umar ra. dalam menyikapi tawanan perang Badar termasuk dalam masalah ini. Abdullah bin Mas'ud ra. berkata bahwa ketika para tawanan itu dibawa ke hadapan Rasulullah saw., Abu Bakar ra. berkata, "Ya Rasulullah! Mereka adalah kaum kerabatmu. Bebaskanlah mereka dan jangan dibunuh. Mungkin mereka akan bertaubat." Sedangkan Umar ra. berkata, "Ya Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang mendustaimu dan menyakitimu. Mereka telah memaksamu keluar dari Mekkah. Sebaiknya mereka dibunuh." Para sahabat berselisih pendapat dalam hal ini. Rasulullah saw. pun berdiam diri. Kemudian beliau memasuki rumahnya, lalu keluar dan bersabda, "Allah menyebabkan hati sebagian orang menjadi lembut, lebih lembut daripada susu. Dan Allah menyebabkan hati sebagian orang keras, sehingga lebih keras daripada batu. Abu Bakar, permisalanmu seperti Ibrahim as. yang berkata,

"Maka barangsiapa mengikutiku, sesungguhnya ia termasuk golonganku. Dan barangsiapa mendurhakaiku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ibrahim : 36). Dan permisalanmu Abu Bakar, juga seperti Isa as. yang berkata,

"Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa lagi Maha Biajaksana. " ( QS Al-Maidah : 118 ).

Dan Umar, permisalanmu adalah seperti Nuh as. yang berkata,

“Ya Tuhanku, jangan Engkau biarkan seorang pun diantara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi, " (Nuh : 26) . Dan permisalanmu Umar, juga seperti Musa as. yang berkata,

"Ya Robbana, binasakan harta benda mereka dan kuncilah hati mereka sehingga mereka tidak beriman, hinggalah mereka melihat siksa yang sangat pedih." ( QS Yunus : 88 ).


Demikianlah, terdapat perbedaan di antara keduanya. Keduanya juga tidak sepakat dalam masalah memerangi mereka yang ingkar membayar zakat. Mereka juga berbeda pendapat mengenai harta para tawanan yang diambil sebagai harta rampasan dan mengenai menjadikan istri-istri dan anak-anak mereka sebagai budak. Mereka juga tidak bersepakat dalam hal pengiriman tentara Usamah bin Zaid ra., juga mengenai pergantian jabatan Khalid bin Walid ra. sebagai pemimpin tentara. Pada akhirnya, walaupun Umar ra. mendesak penggantian jabatan Khalid bin Walid ra., Abu Bakar ra. enggan melakukannya. Namun ketika Umar ra. menjadi Khalifah, ia langsung mencopot jabatan Khalid ra. dan menggantikannya. Dalam hal pengumpulan Al Qur’an, hukum waris karena kakek, dan kasus pencuri yang mencuri tiga kali, juga terdapat perbedaan pendapat. Abu Bakar ra. memerintahkan tangan kiri dipotong sedangkan Umar ra. enggan melakukannya pada masa ia menjadi khalifah. Menurut Abu Bakar ra., penjualan hamba perempuan yang telah melahirkan anak kepada tuannya dibenarkan, namun Umar ra. tidak membenarkannya.

Demikianlah, masih banyak masalah dalam hukum dan dasar Islam yang tidak disepakati oleh kedua sahabat yang masyhur ini. Jika dicatat, tentu memerlukan lebih banyak lembaran lagi dalam risalah ini.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Kesalahpahaman Ummat Islam Terhadap Perbedaan Pendapat

Pertanyaan ketujuh yang diajukan oleh murid Maulana Zakariyya rah.a. kepada beliau:
Banyak mudharat/ kerugian yang timbul karena perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bagaimana pendapat Anda?

Jawaban Maulana adalah:
Saya tidak menerima sepenuhnya pernyataan Anda. Saya senantiasa berpendapat bahwa perbedaan di kalangan ulama adalah rahmat yang besar dari Allah swt.. Anda tentu ingat penyampaian saya dalam mata kuliah hadits, bahwa apabila muncul banyak masalah khilafiyah/ perbedaan pendapat, saya katakan itu sebenarnya demi kemudahan umat ini. Di samping karena alasan masing-masing hadits itu akan ter-amalkan seluruhnya, juga akan muncul berbagai cara dalam penerapannya berdasarkan kaidah syariat yang telah ditetapkan kebenarannya. Sedangkan masalah-masalah yang tidak ada khilafiyah di dalamnya, otomatis hanya ada satu cara yang dibenarkan dalam penerapannya.

Disebabkan umat Muhammad saw. ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan, maka umat yang terbaik ini sama sekali tidak akan mencapai suatu kesepakatan penuh atau bersandar di atas kesesatan. Apabila umat ini menyepakati suatu perkara, maka itu pun adalah kehendak Allah. Rasulullah saw. bersabda, "Umatku tidak akan bersatu di atas kesesataan." Banyak para sahabat ra. yang meriwayatkan hadits ini. Di tempat lain, Rasulullah saw. bersabda, "Aku berdoa kepada Allah agar umatku tidak bersepakat di atas kesesatan dan Allah mengabulkan doaku itu."

Di dalam hadits lain, diriwayatkan bahwa Allah telah melindungi kaum muslimin dari tiga perkara. Di antaranya kaum muslimin tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Hafizh Iraqi rah.a. berkata, "Kesepakatan ini dalam segala segi, dalam perkataan, perbuatan, i'tikad ( kepercayaan ), syariat dan makna perkataan."

Silakan Anda pikirkan, perhatikanlah orang yang dikatakan 'cerdas' ini, dari 'kecerdasannya' ia memperkenalkan ke dalam syariat sesuatu yang tidak ada kesepakatan sebagaimana yang diajarkan oleh orang-orang shaleh dahulu dan bertentangan dengan kesepakatan umum mereka. Jika tidak disebut sebagai suatu kesesatan yang nyata, apa lagi yang akan Anda sebutkan atasnya?

Sebaliknya jika ahli-ahli hak itu tidak bersepakat atas semua perkara, berarti masih ada ruang dan bidang untuk perbedaan pendapat. Banyak sabda Rasulullah saw. yang menguatkan hal ini.

Umar bin Abdul Aziz ra. --yang masyhur disebut Umar kedua dimana pada masa kekhalifahannya bagaikan pada masa Khulafaur Rasyidin--, berkata,

"Aku tidak akan merasa senang, jika para sahabat Muhammad saw. tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak akan terjadi rukhsah/ keringanan dalam melaksanakan suatu aturan syariat." ( Az-Zarqani ).

Imam Daromi rah.a. juga mengutip pernyataan yang sama dari Umar bin Abdul Aziz ra.. Kemudian ia menulis, "Selanjutnya Umar bin Abdul Azis mengirim utusan ke seluruh wilayah kekuasaannya dan memberitahu mereka bahwa setiap orang hendaklah beramal sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh ulama mereka masing-masing."

'Aun bin Abdullah ra. -seorang qari dan abid yang terkenal-, berkata, "Aku tidak senang jika tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabat ra., karena jika mereka bersepakat dalam suatu keputusan, dan siapa yang beramal bertentangan dengannya, maka ia akan menjadi orang yang meninggalkan sunnah. Sedangkan jika mereka berbeda pendapat, dan seseorang menuruti salah satu pendapat dari kalangan mereka, maka ia tidak melanggar batasan sunnah." ( Hadits Riwayat Daromi ).

Abdullah bin Mubarak rah.a. --seorang imam yang masyhur-, berkata, "Setiap pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits tidak dapat diterima. Juga tidak dapat diterima pendapat yang bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat ra.. Walau bagaimanapun, jika ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabat ra., kita dapat memilih pendapat yang lebih merujuk kepada Al Qur’an dan hadits." Di tempat lain, ia menulis, "Kita jangan melampaui kenyataan-kenyataan para sahabat ra.." ( Sumber: Kitab Muqaddimah Aujazul Masaalik ).
Di dalam Kitab Durrul Mantsur dan Syami ditulis bahwa perbedaan pendapat di kalangan para imam mujtahidin adalah rahmat. Semakin kuat perbedaannya, semakin bertambah rahmatnya.

Dan saya bertanya kepada Anda, Pada zaman dan era manakah yang tidak ada perbedaan yang demikian baik, pada masa permulaan Islam atau pada masa selanjutnya? Sebenarnya, sejak permulaan dunia, tiada satu masa pun para pencari kebenaran itu bersepakat mutlak. Allah sendiri menurunkan satu agama-Nya di dunia ini kepada semua nabi-Nya. Pada dasarnya, agama tetap sama, tetapi secara furu' (cabang) selalu ada perbedaan. Tidakkah perbedaan juga timbul dalam pengadilan yang dibuat oleh Dawud as. dan Sulaiman as.? Walaupun berbeda, tidakkah keduanya dipuji oleh Allah swt.?
Allah swt berfirman,

"Dan ( ingatlah kisah ) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberi keputusan mengenai tanaman, ketika tanaman itu rusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum ( yang lebih tepat ), dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud, dan Kami ( kuasa ) berbuat ( demikian ). " (Al-Anbiya : 78-79) .
Ini menunjukan bahwa pengadilan Dawud as. tidak bertentangan dengan syariat. ( Sumber: Kitab Bayanul Quran ).




Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Kepentingan Sunnah Rasulullah saw.

Bagaimana agama tidak tertindas, jika kita menafikan, mencemooh atau memperolok-olok masalah sunnah yang telah pasti dan tanpa ragu ini? Al Qur’an sendiri telah menegaskannya bukan di satu tempat saja bahkan di berbagai tempat. Salah satunya berbunyi,

"Maka demi Tuhanmu, mereka ( pada hakekatnya ) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu ( mu= Rasulullah saw ) hakim terhadap masalah yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." ( QS An-Nisaa : 65 ).

Kita banyak mendapati sabda-sabda Nabi saw. yang berbunyi, "Tidaklah beriman seorang pun di antaramu, sehingga nafsunya tunduk kepada syariat yang kubawa."

Katakanlah, "Jika kamu ( benar-benar ) mencintai Allah, ikutlah aku. Niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Ali Imran: 31-32 ).

Dari Abi Rafi ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jangan seorang pun dari kalian didapati duduk di atas tempat duduk yang empuk, bersandar di atasnya yang bila dibawakan kepadanya salah satu perintahku menyuruh suatu dan melarang sesuatu, lalu ia berkata, "Kami tidak tahu ( mengenainya ). Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dalam Kitabullah." ( Ahmad, Abu Dawud ).

Perbuatan seperti ini telah banyak diisyaratkan dalam berbagai hadits. Hadits-hadits itu menolak pendapat dan cara pandang mereka yang menyatakan cukup memadai dengan hanya mengikuti Al Qur’an. Sebuah hadits menyatakan, "Aku telah dikaruniai Al Qur’an dan perintah-perintah lainnya seperti itu. Tidak lama lagi akan datang suatu zaman dimana orang-orang bersenang-senang ( makan dan minum ) sambil bersandar di kursi-kursi empuk, lalu berkata, "Kita cukup hanya menuruti Kitabullah. Ikuti saja apa saja yang dihalalkan di dalamnya, anggaplah halal. Dan apa yang diharamkannya, anggaplah haram." Sebenarnya, apa yang diharamkan oleh Rasulullah saw., juga diharamkan oleh Allah swt.." ( Misykat ).

Hadits-hadits di atas menerangkan tentang akan munculnya orang-orang yang bersenang-senang ( foya-foya, kenyang makan dan minum ) sambil bersandar di kursi-kursi empuk mereka yang bersikap sinis terhadap sunnah Nabi saw. Ini adalah suatu isyarat bahwa ucapan-ucapan bodoh mereka seperti itu datang dari kalangan orang-orang kaya. Sangat menggelikan jika seseorang yang baru dikaruniai sedikit harta, lalu ia merasa layak dan wajar mengutak-atik aturan agama seenaknya dengan alasan untuk memperbaikinya. Berbeda mungkin dengan orang-orang miskin, yang kemungkinan kecil akan memiliki pikiran-pikiran seperti itu. Rasa takut kepada Allah boleh jadi lebih mewujud dalam diri orang-orang miskin.

Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar r.a.,” Di dalam Al Qur’an ada disebutkan tentang sholat di tempat dan ketika dalam ketakutan, tetapi tidak diterangkan mengenai sholat dalam perjalanan ( safar ). Bagaimana itu?” Beliau menjawab,” Saudaraku! Sesungguhnya Allah swt telah mengutus Muhammad saw kepada kita sebagai Nabi-Nya. Kita tidak mengetahui apapun, sehingga kita hanya melakukan apa yang kita lihat beliau saw melakukannya.” Umar bin Khaththab r.a. berkata,” Orang banyak berdebat mengenai Al Qur’an, maka jawablah kepada mereka dengan hadits-hadits, karena mereka yang memiliki ilmu hadits adalah lebih memahami ( maksud ) kitabullah.” ( Sumber: Kitab Asy Syifa ).

Imam Zuhri rah.a.-seorang ulama besar dari kalangan tabi’in- berkata,” Aku telah mendengar dari alim ulama sebelum ini ( maksudnya- era shahabat Nabi ) berkata,’ Berpegang teguh kepada sunnah ( thariqal Rasulullah/ jalan hidup Rasul ) adalah suatu penyelamatan. Ilmu ( Ad Dien ) akan lenyap tidak lama lagi. Penerus agama dan dunia adalah bergantung pada kekuatan ilmu. Hilang ilmu, binasalah agama dan dunia.’”
Seorang tabi’in, Abdullah Dilami rah.a. berkata,” Dari para shahabat yang mulia, telah sampai kata-kata mereka kepadaku bahwa agama akan hilang dari dunia ini bermula dari satu sunnah yang ditinggalkan. Satu demi satu sunnah akan dibuang seperti simpul tali yang dilepas satu demi satu.” ( Riwayat Darami ).

Suatu ketika, Sa’id bin Jubair r.a. menerangkan sebuah hadits. Salah seorang hadirin yang mendengar hadits tersebut memberitahunya bahwa hadits tersebut bertentangan dengan sebuah ayat Al Qur’an. Sa’id bin Jubair r.a. berkata kepadanya,” Kuriwayatkan kepadamu sabda Rasulullah saw dan kamu membantahnya dengan ayat Al Qur’an. Hendaklah kamu ingat bahwa Rasulullah saw mempunyai ilmu yang paling baik mengenai maksud Al Qur’an” ( Hadits riwayat Darami ).

Ayat-ayat Al Qur’an selalu diturunkan secara ringkas dan hadits Rasulullah yang menafsirkannya. Oleh sebab itu, jangan terburu-buru membuat suatu tanggapan jika menemui hadits-hadits yang seolah-olah bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Masalah ini memerlukan perhatian dan keahlian yang mendalam. Dan jika sudah dipikirkan dan direnungkan, ternyata tetap terlihat seolah-olah bertentangan, maka hendaklah kita menyelidikinya, apakah ayat Al Qur’an tersebut telah dimansukh atau tidak. Kita sepakat bahwa ‘derajat hadits tidak bisa menyamai ayat-ayat Al Qur’an’, tetapi ini hanya disebabkan bukti yang sedikit kurang memberatkannya sehingga dapat sampai ke taraf shahih, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. ( bergantung kepada aturan periwayatannya ). Namun ketidaktaatan kepada Rasulullah saw sama beratnya dengan ketidaktaatan terhadap Allah swt. Allah swt berfirman di dalam Al Qur’an:

Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menyedihkan.” ( QS An Nisaa: 14 )
 
Pada hari itu, orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasul, ingin agar mereka diratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan ( dari Allah ) satu kejadian pun.” ( QS An Nisaa: 42 ).
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seijin Allah…” ( QS An Nisaa: 64 ).
Barangsiapa mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling ( dari ketaatan itu ), maka Kami tidak mengutusmu ( Muhammad ) untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” ( QS An Nisaa: 80 ).
Selain dari ini, terdapat ayat-ayat lain yang memberitahu kita bahwa asal agama adalah mengikuti Rasulullah saw. Menjalankan syariat dan beramal dengan sunnahnya adalah wujud ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, sukar bagi para shahabat r.anhum ajma’in, khususnya pada zaman Khulafaur Rasyidin yang empat, menyimpang dari sunnah walaupun sedikit.


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Pengkafiran Orang Lain

Hanya jika mereka menggunakan akal pikiran mereka, mereka akan mengakui bahwa ulama ahli haq tidak akan mengkafirkan orang lain dengan fatwa mereka. Apa yang mereka lakukan sekadar menunjukkan ciri-ciri orang kafir itu ( sebagai suatu peringatan dan batasan ), sebab orang yang menolak asas-asas Islam, melalui amalannya sendiri secara suka rela dan sadar, atau 'jahil', maka jatuh kafir padanya.

Keadaan tetap demikian, baik orang akan memanggilnya kafir atau tidak, jika ia bukan seorang kafir, ia tidak akan jatuh kafir. Dan jika ternyata ia telah menjadi kafir ( melalui perbuatan, kenyataan atau kepercayaannya ), maka walaupun tidak ada yang melarangnya kafir, ia tetap telah kehilangan ke-Islamannya.

Jika direnungkan, maka dapat kita pahami bahwa orang yang menunjukkan ciri-ciri kekufuran seseorang itu, sebenarnya telah berbuat suatu kebaikan kepada orang itu, agar ia menyadari bahwa perbuatannya yang demikian dan demikian itu akan menyeretnya keluar dari Islam dan memjerumuskannya ke dalam kekufuran. Dengan demikian, jika ia benar-benar mempedulikan agamanya, tentu ia akan berwaspada dan berhati-hati dalam segala perilakunya.

Jika kita tidak benar-benar meyakini fatwa ulama tersebut, kita dapat tanyakan kepada orang lain yang lebih ahli untuk mengesahkan kata-kata orang itu betul atau salah. Mungkin fatwanya salah. Saya ( Maulana Zakariyya ) juga tidak menafikan bahwa mungkin ada kesalahan pada diri ulama, tetapi yang pasti, tidak selalu fatwanya itu salah.

Dalam hal ini, ada sebagian orang yang keras berpendapat bahwa mungkin saja seseorang itu terpengaruh oleh pendidikan Barat atau karena kejahilan agamanya, sehingga ia berkata atau berbuat sesuatu yang bertentangan dengan iman, dan atas dasar ini, ia tidak patut di-hukumi kafir. Menurut saya, pandangan seperti ini tentu salah. Ini bukan tindakan yang akan memberi manfaat dan kebaikan kepada umat, malah akan menjurus dan menggalakkan orang lain agar terjerumus dalam perbuatan kufur. Dan mereka sepatutnya merubah cara pandang mereka.

Sekarang, banyak orang yang mengecam alim ulama atas kenyataan ini, bahwa pada hari ini cap pengkufuran begitu murah dan setiap orang dapat terjebak di dalamnya. Sesungguhnya mereka sedang berusaha mengalihkan perhatian masyarakat dari fatwa yang sebenarnya kepada usaha menjelek-jelekkan ulama. Padahal, jika orang-orang tidak menindak tegas sikap yang menjurus ke arah kekufuran ini, maka jelas itu menunjukkan ketidakbecusan niat kita terhadap agama dan ketidakyakinan kita terhadap nasehat Nabi saw. serta alim ulama.

Dewasa ini, sangat mudah mengeluarkan kata-kata kufur disebabkan kejahilan yang ada, bahkan orang-orang sudah tidak mengenali lagi apa kandungan dalam kata 'kufur' itu, sehingga mereka senantiasa terjebak di dalamnya. Rasulullah saw. bersabda bahwa kata 'kufur' akan mudah diucapkan dan akan tersebar luas. Beliau bersabda, "Bersegeralah beramal shaleh, sebelum kedatangan fitnah seperti bagian malam yang gelap gulita ( sulit membedakan mana yang haq/ benar dan yang batil/ salah/ sesat ). Pada masa itu, seseorang akan berpagi hari sebagai mukmin dan pada petang harinya ia menjadi kafir. Ia berpetang hari sebagai muslim dan pada pagi harinya ia menjadi kafir. Dan ia akan menjual agamanya semata-mata untuk keuntungan dunia." ( Muslim – Misykat ).Di dalam hadits yang lain dinyatakan, "Fitnah akan datang pada suatu masa, dimana setiap seruan akan menyeret ke arah jahannam." ( Misykat ).

Sebuah hadits lain menyatakan, "Hampir tiba masanya, fitnah akan muncul, sehingga seseorang akan berpagi hari sebagai mukmin, tetapi pada petang harinya ia menjadi kafir, kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah disebabkan ilmunya." ( Hadits Riwayat Darami ).
Maksud 'disebabkan ilmunya' dalam hadits di atas bermakna ia memahami batasan kufur dan iman. Ia mengetahui apakah syarat-syarat yang menjadikan seseorang itu muslim dan apa yang menyebabkannya menjadi kufur. Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda, "Menjelang hari Kiamat, akan muncul fitnah yang paling dahsyat, seperti bagian malam yang paling gelap gulita. Seseorang yang bangun pada pagi hari dalam keadaan muslim, ia akan menjadi kafir pada sore harinya. Pada masa itu, orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan. Pada masa itu, jadilah kamu seperti keset kaki rumahmu." ( Hadits Riwayat Abu Dawud- Kitab Misykat ).


Rasulullah saw. bersabda, "Akan datang suatu masa fitnah yang paling gelap, dimana tidak seorang pun dari umat ini yang dapat lolos darinya. Jika terlihat seolah-olah fitnah itu akan berhenti, maksiat yang lain akan muncul. Pada petang hari, ia sebagai muslim, tetapi pada malamnya ia menjadi kafir ( redaksi lain menyebutkan, berpetang hari sebagai muslim dan pada pagi harinya menjadi kafir ), sehingga dua kumpulan akan bangkit. Satu kumpulan ialah golongan muslim sejati ( yang ikhlas ) tiada sedikit pun terlihat tanda-tanda kemunafikan pada diri mereka. Kumpulan lainnya adalah golongan munafik, yang tidak terlihat sama sekali tanda-tanda keimanan pada diri mereka. Dajjal akan muncul pada masa itu."( Hadits Riwayat Abu Dawud – Kitab Misykat ).
Selanjutnya Nabi saw. bersabda, "Sekarang kusaksikan rombongan demi rombongan manusia memeluk Islam. Tidak lama lagi akan datang rombongan demi rombongan manusia meninggalkan Islam." ( Hadits Riwayat Hakim – Kitab Durrul Mantsur, Majmaul Zawaid ).

Kita akan melihat 'kekufuran' yang bentuk dan kemunculannya demikian merata yang bukan diciptakan oleh para ustadz dan ulama ( sebagaimana tuduhan terhadap ulama ) yang jelas telah digambarkan oleh pembawa syariat; Rasulullah saw. tanpa kenyataan yang meragukan.

Demikianlah masalahnya. Setelah Anda renungkan, apakah ini tidak berkaitan dengan agama kita? Apakah kita tidak perlu mewaspadainya? Tidak pedulikah kita atas ucapan-ucapan yang menyatakan '... kelompok ini menyebut kafir kepada kelompok itu. Dan kelompok itu mengkafirkan kelompok ini ....", dan merasa bahwa itu semua bukan urusan kita?

Sebenarnya, jika seseorang itu benar-benar meresapi kenyataan ini, ia akan merasa tanggung jawab agama pada dirinya terus bertambah. Tanggung jawab kita tidak hilang begitu saja dengan kenyataan ini. Namun sangat sedikit orang yang mempelajari dasar-dasar seseorang itu dapat dituduh kafir, sehingga berdasarkan alasan tersebut dari sisi nur ilmu agama, memang benar orang itu telah jatuh kafir. Dan seandainya benar, maka ia bertanggungjawab rnenyelamatkan dirinya dan orang lain dari bencana ini. Tiada seorang pun yang terlepas dari tanggung jawab ini, apalagi dengan ejekan kalimat '...kufur telah menjadi sangat murah...'. Hal demikian tidak akan memberikan kebenaran apapun kepada kita.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP