Maulana Zakariyya rah.a. tidak hanya menyetujui pemikiran yang menyatakan bahwa memang terkadang di antara para ulama terdapat perbedaan yang tajam, tetapi kita sebagai orang awam juga mesti tahu lebih dulu duduk persoalannya, dan tidak patut berkomentar sembarangan. Perbedaan tajam di antara para ahli kebenaran dalam hal ini ulama, tidaklah serta merta merendahkan martabat mereka dan tidak bertentangan dengan syariat. Bahkan jika terjadi perbedaan di antara ulama- maka – pada derajat yang sama- kedua hujjah/ argumen mereka menjadi semakin kokoh. Lebih luas perbedaan mereka, maka akan lebih kuat lagi jenis hujjah yang mereka hasilkan. Misalnya jika seorang Imam berpendapat bahwa suatu perintah itu wajib, sedangkan Imam lainnya menyatakan bahwa hal tersebut makruh tahrimi ( sangat tidak disukai ), maka sudah tentu hujjah/ argumen keduanya sangat kuat. Inilah yang menyebabkan bahkan para shahabat Nabi saw pun terpaksa bertikai, sehingga terjadi perang di antara mereka.
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, seorang shahabat ‘A’ telah mengatakan bahwa sholat witir itu wajib, namun shahabat lainnya, ‘B’, yang tidak sependapat mengatakan bahwa shahabat A tersebut kadzab ( dusta ). Atas masalah ini, alim ulama menafsirkan kembali kata-kata yang secara zhahir terlihat seakan-akan menjatuhkan kepribadian shahabat A tersebut. Walaupun kita berusaha menerjemahkan ucapan Shahabat B dengan lebih halus, demikianlah terjemahan ucapan itu. Namun demikian, menjadi tugas kita, apabila menemukan ucapan seseorang yang keras, hendaknya ucapan itu diterjemahkan dengan hati-hati agar tidak memberi kesan bahwa seseorang itu sedang ‘diserang’. Contoh mengenai hal ini banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits.
Para shahabat Nabi telah dimaafkan, walaupun kerap menggunakan kata-kata ( seolah-olah ) keras, karena Rasulullah saw besabda,
“ Ketahuilah ! Janganlah karena merasa segan dengan kehebatan seseorang, ia takut berkata yang haq/ benar, sedangkan ia mengetahui masalah itu ( meyakini kebenaran tersebut ).”
Ketika Abu Said Al Khudri ra. Meriwayatkan hadits ini, beliau menangis, lalu berkata,” Kita telah melihat banyak urusan dan karena kekaguman terhadap seseorang, telah mencegah kita dari berbicara mengenainya.”
Terdapat lagi hadits yang masyhur,
“ Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah ia cegah dengan lidahnya. Dan jika masih tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan ini adalah selemah-lemah iman.”
Banyak lagi nash mengenai masalah ini yang telah kami kemukakan dalam Risalah Tabligh. Inilah perintah yang mendorong para alim ulama berkata lantang apabila mereka menganggapnya suatu kebenaran. Ketika masalah itu semakin penting, mereka akan lebih tegas dan kokoh lagi pendiriannya dan semakin siap menentang lawan mereka. Namun harus diperhatikan dengan cermat bahwa lawan yang ditentang, memang layak untuk ditentang. Dan ulama yang menentang itu memang ahli dalam ilmunya. Dan tidak semua orang dapat ditentang. Tindakan menentang/ menyerang seseorang itu hendaknya tidak sampai menimbulkan kebingungan dan kesedihannya.
Oleh sebab itu, Maulana Zakariyya berharap dan berdoa agar seluruh kaum muslimin, khususnya alim ulama agar dapat bersatu pandangan terhadap politik yang terbaik bagi masa depan ummat. Namun hal ini tentu akan menimbulkan kegelisahan dan ketidakenakan, karena kita tidak mungkin menyenangkan kedua belah pihak yang saling berbeda pendapat. Di sisi lain, mungkin saja hal ini akan mendatangkan mudharat dari perilaku para pengikut kedua pihak yang berseberangan, yang kadangkala terlalu berlebihan dan keluar dari jalur syariat.
0 komentar:
Posting Komentar