Jumat, 30 Juli 2010

Penyebab Pertikaian Alim Ulama Hingga Hari Ini

Menurut pendapat saya ( Maulana Zakariyya rah.a ) yang hina ini, terdapat dua sebab terjadinya pertikaian yang semakin bertambah hingga hari ini. Satu penyebab ditujukan kepada alim ulama itu sendiri, dan yang satu lagi ditujukan kepada masyarakat umum.

Penyebab Pertama:

Kesalahan ulama ialah mereka tidak membatasi masalah perselisihan itu pada kalangan alim ulama saja, tetapi mereka telah menyimpang arahnya, lalu menyiarkannya ke masyarakat awam dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan masyarakat umum dalam 'peperangan' mereka. Dengan bantuan dan dukungan masyarakat umum, mereka berusaha menyakiti dan menghina ulama lawannya.

Seharusnya, cara bertindak mereka adalah dengan cara menyampaikan pandangan dan hasil kajian mereka di tengah forum alim ulama tanpa rasa takut dan gentar. Katakanlah apa yang mereka pikirkan adalah haq. Dan mereka pun jangan gentar atas tuduhan dan kritikan yang dilontarkan ke atas mereka. Dan jangan terpengaruh apakah orang mengamalkan atau tidak hasil kajian mereka. Ingatlah, bahwa mereka adalah dari ahli haq. Kebenaran mereka tidak tergugat, baik orang mengikuti mereka atau tidak. Jika tidak ada seorang pun yang mengikuti pendapatnya, apa bedanya?

Terdapat sebagian Nabi Allah yang hanya memiliki seorang pengikut. ( Kitab Misykat ). Apakah ini bermakna; terdapat kecacatan pada kemuliaan Nabi ini? Lihat sahabat Abu Dzar ra.. Ia berfatwa; sama sekali jangan mengumpulkan harta. Fatwanya bertentangan dengan sebagian besar sahabat ra., namun ia terus menyebarkan fatwanya tersebut di setiap pertemuan yang ia hadiri, tidak peduli apakah orang menerimanya ataupun tidak.

Secara khusus, penting mewaspadai suasana yang di dalamnya terdapat kumpulan orang-orang awam yang tidak memahami seluk beluk perbedaan pendapat di kalangan ulama. Seorang ulama perlu menahan diri dari menyatakan perbedaan pendapat mereka secara terbuka. Mereka perlu menyatakannya di kalangan alim ulama saja. Walau bagaimanapun, jika dikhawatirkan ia akan dituduh bersalah karena menyembunyikan ilmu atau karena untuk rnenyampaikan tujuan kepentingannya, maka hal-hal itu mesti dinyatakan. Bahkan, lakukanlah dengan segala kemampuan! Tetapi jika perkara ini dinyatakan di hadapan orang awam yang dapat memahami dengan baik lalu memaksa mereka menjadi pendukung setia, lalu menjadi pendukung setia fatwanya, maka ini salah besar!

Alim ulama hendaknya memahami bahwa jika para ulama ahli haq tidak menyetujui, ini bermakna terdapat ruang bagi orang-orang awam untuk beramal dengan kedua pendapat yang berbeda. Bukankah hal ini yang kita lihat pada hari ini? Anda menaikkan semangat orang awam agar menentang pihak lawan. Hasilnya, emosi para pengikut pihak lawan pun akan naik terhadap Anda. Jadi, Anda sendiri dapat membayangkan rentetan dan hasil apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bagi diri kita, kita memiliki teladan leluhur kita yang dahulu. Sudah menjadi amalan umum bagi para sahabat yaitu mendirikan shalat Witir tiga rakaat, namun Mu'awiyah ra. biasa melakukannya hanya satu rakaat shalat. Hal ini telah terlihat oleh Kuraib, hamba Ibnu Abbas ra. yang telah merdeka. Hal itu ia laporkan kepada Ibnu Abbas ra.. Ibnu Abbas ra. berkata, "Jangan engkau menentangnya, karena ia juga seorang ahli fiqih yang termasyhur." ( Hadits Riwayat Bukhari ).

Pada saat shalat safar, Abdullah bin Mas'ud ra. dan hampir semua sahabat ra. biasa mendirikan shalat fardhu dengan hanya dua rakaat ( bukan empat rakaat ). Seseorang memberitahunya bahwa di Mina, Utsman ra. melakukannya empat rakaat ( dalam keadaan masih safar ). Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Inna lilahi wa inna ilaihi raaji'un. Sesungguhnya aku bersama Rasulullah saw. melakukan dua rakaat di Mina, bersama Abu Bakar dua rakaat, bersama Umar pun dua rakaat."

Menurut hadits yang lain, Ibnu Mas'ud ra. juga melakukannya dua rakaat bersama Utsman ra. pada masa awal kekhalifahannya. Namun demikian, diriwayatkan dalam Shahih Abu Dawud bahwa Abdullah bin Mas'ud ra. melakukan empat rakaat bersama Utsman ra., sehingga seseorang berkata, "Mengapa dahulu engkau menentang Utsman melakukan empat rakaat ( di Mina ), sedangkan engkau sekarang melakukannya empat rakaat ( bukan dua rakaat )." Beliau menjawab, "Menentang Khalifah adalah sesuatu yang sangat berbahaya."

Alasan jawaban di atas adalah jelas, karena Abdullah bin Mas'ud ra. menganggap Utsman ra. adalah seorang musafir ( jadi ia perlu melakukan dua rakaat saja ). Namun ia telah berniat untuk tinggal, maka ia harus shalat empat rakaat. Abdullah bin Mas'ud ra. seorang mujtahid, demikian juga Utsman ra., sehingga Abdullah bin Mas'ud ra. tidak menganggap fatwanya itu wajib diikuti oleh orang lain.

Seseorang bertanya kepada Umar ra., "Apakah engkau akan melantik seorang khalifah penggantimu?" Beliau menjawab, "Jika aku tidak melantik penggantiku, maka itu tidak kulakukan karena Rasulullah saw. tidak melakukannya ( berdasarkan perintah Al Qur’an ). Dan jika aku melantik penggantiku, aku melakukannya karena Abu Bakar telah melantikku."


Menurut Abu Bakar ra., setelah memerangi mereka yang enggan membayar zakat, maka harta benda mereka menjadi ghanimah ( harta rampasan ), keluarga mereka menjadi hamba. Umar ra. tidak setuju dengan fatwa ini. Demikianlah fatwa pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra., dan telah diterima oleh Umar ra. dan para sahabat lainnya. Tetapi pada masa kekhalifahan Umar ra., fatwa Umar ra. juga diterima dan diamalkan oleh yang lainnya. ( Sumber: Kitab Fathul Bari ).

Dalam pandangan Imam Syafi'i rah.a., membaca doa Qunut dalam shalat Shubuh adalah sunnah. Namun pada suatu ketika, beliau menziarahi kubur Imam Abu Hanifah rah.a.. Dan ketika memasuki waktu shalat Shubuh, sengaja ia tidak membaca doa Qunut tersebut ( riwayat yang lain juga menyebutkan bahwa ia pun tidak membaca bismilah secara jahar ( kuat ), padahal berdasarkan fatwanya hal itu sunnah. Ketika ia ditanya mengenai hal ini, ia menjawab, "Karena beradab dengan penghuni kubur ini ( Imam Abu Hanifah rah.a.), sehingga aku meninggalkannya."

Sebagian orang mempermasalahkan hal ini dengan berkata, "Bagaimana pengamalan sunnah bisa ditinggalkan semata-mata karena menghormati seseorang." Kepribadian dan derajat Imam Syafi'i rah.a. demikian tinggi, dan kita dapat mengatakan bahwa ia sengaja meninggalkan sunnah tersebut karena orang lain padahal ia seorang mujtahid.

Masalah ini perlu dipahami betul-betul. Imam Syafi'i rah.a. sebenarnya tidak meninggalkan sunnah karena menghormati Imam Abu Hanifah rah.a.. Apa yang dilakukannya sebenarnya pada saat tersebut, tahqiq ( kajian ) yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah rah.a. adalah lebih utama daripadanya. Berdasarkan tahqiq yang dilakukan oleh Abu Hanifah rah.a., masalah-masalah tadi bukanlah sunnah. Menurutnya membaca Qunut dalam shalat Shubuh bukanlah sunnah dan membaca bismilah dengan jahr pun bukan sunnah. Apakah salah bagi seorang mujtahid besar, jika ia sendiri berfatwa sesuatu itu sunnah lalu mengamalkan tahqiq orang lain yang "juga seorang mujtahid yang ternama dan mulia?

Alim ulama Al-Muhaqqiqin dan kalangan Syafi'iyah mensahkan peristiwa ini. Ibnu Hajar Makki rah.a. walaupun tergolong sebagai ulama kalangan Syafi'iyah menulis, "Sebagian orang meragukan peristiwa ini. Sebenarnya, tidak perlu diragukan dan tidak perlu dibantah. Kadangkala masalah yang timbul dan bertentangan dengan sunnah pada saat itu adalah lebih utama. Misalnya, memberi penghormatan kepada ulama adalah wajib pada suatu masa, terutama di hadapan orang-orang yang ada hasad dan dengki terhadap ulama. Kewajiban ini disetujui kesepakatannya. ( Hadits Riwayat Muttafaqun Alaihi ).
Sedangkan masalah Qunut dan Bismilah jahr atau perlahan adalah sekadar perbedaan pendapat dengan beragam pendapat.

0 komentar:

Posting Komentar

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP