Dalam bagian ini, Maulana Zakariyya ingin menegaskan apa maksud jihad yang sebenarnya. Jihad bukan hanya berperang dan saling membunuh, walaupun itu diakui sebagai suatu peringkat yang tinggi dalam jihad. Namun segala usaha yang meninggikan kalimat Allah dan memperkuat Islam serta menjadikan agama di atas segalanya termasuk dalam kategori jihad. Rasulullah saw. bersabda, "Jihad yang terbaik ialah mengatakan yang haq di hadapan Raja zhalim." Atas dasar ini, setiap usaha di bidang yang mendatangkan kebajikan bagi Islam dan kaum muslimin termasuk dalam konsep jihad.
Setelah menyatakan ini, perlu saya peringatkan tanpa ragu lagi; bahwa mereka yang terlibat politik jenis ini, telah melakukan suatu faedah yang sangat penting. Sayangnya, sebagian ahli politik acap kali bertingkah yang berlebihan, sehingga mereka melancarkan kritik dan cercaan terhadap lawannya. Perbuatan demikian, belum dapat dikatakan ia berpolitik Islami. Akibatnya, para pengecam akan memandang bahwa semua ibadah dan amal shalehnya tidak bernilai, sampai mereka berani menuduhnya sebagai seorang fasik dan fajir (pendosa). Bahkan ada yang mencapnya sebagai ahli jahanam dan kafir. Ini adalah kesalahan yang sangat besar. Jika sikap di atas berhukum fardu ain bagi setiap muslim, maka mereka yang tidak mempedulikannya mungkin tidak berbuat dosa besar, maka mengapa harus dikatakan kafir tanpa bukti syar'i yang kuat. Sesungguhnya hal ini adalah suatu kesalahan yang sangat dahsyat. Rasulullah saw. bersabda, "Azas iman terletak atas tiga masalah. Salah satunya ialah seseorang yang telah menerima kalimat Tauhid jangan dicap kafir jika ia berbuat dosa." (Sumber: Kitab Misykatul Mashabik ).
Menurut hadits yang lain, "Barangsiapa menyatakan fasik atau kafir terhadap seseorang, sedangkan ia tidak demikian, maka tuduhan itu kembali kepada orang yang mengatakannya." Hadits lain menyebutkan, "Apabila seseorang mengatakan kafir atau musuh Allah terhadap seseorang dan orang itu tidak demikian, maka tuduhan itu kembali kepada orang yang mengatakannya." ( Sumber: Kitab Misykat ).
Ini bermakna, bencana dan malapetaka akan menimpa dirinya. Oleh sebab itu, hendaklah berhati-hati dalam bertutur kata. Kadangkala ketika seseorang itu marah, mungkin terucap olehnya, "..... orang itu tidak bisa diampuni..., atau .... si fulan tidak akan diampuni oleh Allah...." Betapa besar kesalahan ini. Dan yang sangat membuat saya bersedih adalah jika yang mengeluarkan kata-kata ini adalah seorang ulama dan terpelajar.
Nabi saw. bersabda, "Jika seseorang berkata, ‘Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa Allah tidak akan mengampuni si fulan dan si fulan. Allah menjawab, ‘Siapa orang ini yang bersumpah dengan nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni orang itu? Sesungguhnya Aku telah mengampuni orang itu. Sedangkan bagi orang yang bersumpah itu, Ku-katakan kepadanya, ‘Semua amalanmu batal dan sia-sia.’”
Menurut sebuah hadits, terdapat dua orang dari kalangan Bani Israil. Seorang 'abid ( ahli ibadah ) dan seorang pendosa besar. 'Abid selalu memperingatkan pendosa atas dosa-dosanya. Hingga pada suatu hari, si 'abid melihat si pendosa melakukan dosa besar, lalu ia berkata kepada pendosa tadi, "Aku bersumpah dengan nama Allah, Allah tidak akan mengampunimu."
Singkat cerita, ketika keduanya telah meninggal dunia dan keduanya dibawa ke hadapan Allah swt. Allah berfirman kepada 'abid, "Apakah kamu menganggap bahwa kamu dapat menahan nikmat-nikmat-Ku yang akan Ku-turunkan dengan sumpahmu ( bahwa Aku tidak akan mengampuninya? )." Dan kepada pendosa tadi Allah berfirman, "Masuklah ke dalam surga dengan Rahmat-Ku." Kemudian diperintahkan agar si 'abid itu dimasukkan ke neraka.
Mengenai si 'abid dalam hadits ini Abu Hurairah ra. berkata, "Disebabkan satu masalah yang diucapkannya, dia membinasakan dunia dan akhiratnya." (Jam'ul Fawaid).
Maksud saya mengutip hadits ini, untuk menunjukkan betapa bodoh orang yang mengucapkan perkataan tersebut ketika marah. Lebih parah lagi jika ucapan itu berbentuk penghinaan dan mencerca agama dan ulama. Suatu permisalan yang sering kami dengar dan diucapkan dengan nada menghina, adalah ucapan, "...... banyak pintu ke surga. Para ustadz telah memudahkan jalan untuk masuk surga, yaitu hanya dengan shalat dan berpuasa, kemudian masuk surga........."
Ucapan-ucapan seperti itu mereka gunakan untuk mempermainkan agama yang diucapkan terang-terangan dengan penuh semangat dalam ceramah-ceramah mereka. Dengan cara itulah mereka menghina agama dan hamba-hamba Allah yang memelihara keshahihan agamanya.
Sebenarnya, terdapat banyak pintu menuju surga, tapi apa perlunya kita menghina, mencandakannya atau membuat pernyataan yang merendahkannya?
Sebagaimana hukum agama lainnya, jihad juga termasuk bagian dari hukum agama. Allamah Shami rah.a. menyatakan bahwa shalat fardhu tepat pada waktunya dengan menjaga tata tertibnya, dinilai lebih utama daripada jihad, sebab jihad adalah untuk menegakkan iman dan shalat, sedangkan shalat itu sendiri adalah tujuan yang mengandung keistimewaan tersendiri. (Shami)
Dengan demikian, mengatakan bahwa shalat dan puasa seseorang itu tidak berguna, karena tidak menyertai jihad adalah suatu kesalahan besar. Seorang sahabat datang menemui Rasulullah saw. berniat pergi berjihad. Rasulullah saw. bertanya kepadanya, "Apakah ibu bapak masih hidup." "Ya, masih hidup." Jawabnya. Beliau bersabda, "Kembalilah dan layanilah mereka dengan sebaik-baiknya."
Pada saat lain, seorang sahabat menemui Rasulullah saw., lalu berkata, "Namaku telah tertulis untuk pergi jihad ( dengan kerelaanku ), sedangkan istriku akan pergi haji." Jawab Rasulullah saw., "Pergilah haji bersama istrimu." (Bukhari, Muslim - Misykat).
Menurut hadits lain, seorang sahabat datang menemui Rasulullah saw., lalu berkata, "Aku datang ke sini ingin berjihad dan ingin bermusyawarah dengan engkau." Rasulullah saw. bertanya, "Apakah ibumu masih hidup?" Dijawab, "Ya, masih hidup." Beliau bersabda, "Tinggallah bersamanya, karena surga berada di bawah telapak kakinya." (Misykat).
Seorang Arab Badui datang bermusyawarah dengan Rasulullah saw. untuk berhijrah. Rasulullah saw. bersabda, "Hijrah adalah sesuatu yang sangat sukar. Adakah kamu memiliki unta-unta?" "Ya," jawabnya. Tanya Rasulullah saw., "Adakah kamu telah mengeluarkan zakat dari unta-unta ini?" "Ya, telah kukeluarkan," jawabnya. Beliau bersabda, "Tetaplah kamu beramal shaleh dimanapun berada. Walaupun amalanmu membentang lautan, Allah sama sekali tidak akan mengurangi pahala amal shalehmu." (AbuDawud).
Ringkasnya, banyak hadits yang serupa dengannya, di mana Rasulullah saw. memilih amal shaleh lainnya dibandingkan berjihad yang hakiki, karena hal ini pun dianggap dalam kategori jihad.
Kita setuju dan memahami, bahwa pada saat tertentu, dalam sebab dan keadaan tertentu, berjihad adalah amalan yang tertinggi, sehingga pada saat perang Khandak menentang Ahzab, sekali atau lebih Rasulullah saw. terpaksa menangguhkan shalat di luar waktu ( diqadha' ). Namun hal ini bukan suatu aturan umum, bahwa ketika tidak ada jihad, amal shaleh yang lain tidak diterima, khususnya bagi kesalahan-kesalahan dimana terdapat alasan-alasan yang wajar.
Pernah suatu ketika, Rasulullah saw. berjihad di luar kota Madinah. Di tengah jalan, beliau bersabda, "Di belakangmu ada orang-orang yang pahala mereka sama dengan setiap langkah yang kalian langkahkan ke medan jihad, setiap harta yang kamu belanjakan, dan setiap kesulitan yang kalian alami, padahal mereka masih berada di Madinah." Para sahabat terperanjat, lalu bertanya, "Bagaimana mereka mendapatkan pahala, padahal mereka tinggal di rumah-rumah mereka?" Rasulullah saw. menjawab, "Disebabkan suatu urusan dan udzur mereka, mereka terpaksa tertinggal." (Abu Dawud).
Maksud hadits ini telah didukung oleh banyak hadits yang sama. Salah satunya, adalah hadits yang berbunyi, "Barangsiapa sakit atau bepergian ( sehingga ia tidak dapat beramal harian dengan sempurna ) ia akan menerima pahala yang sama, sebagaimana yang ia terima ketika sehat atau menetap ( tidak bersafar )." (Sumber: Kitab Misykat).
Sebuah hadits menyatakan, "Apabila seorang yang selalu sibuk beramal shaleh jatuh sakit, maka malaikat yang ditugaskan menulis amal shalehnya itu akan diperintahkan terus menulis pahala amal baiknya, seolah-olah ia telah melakukannya." (Misykat).
Sebuah hadits lain menyatakan bahwa apabila seseorang dipaksa melakukan suatu amalan yang dilarang, sedangkan ia tidak menyukainya, namun ia tidak mempunyai pilihan lain dan terpaksa mengikutinya, maka ia dianggap tidak mengikutinya. Dan jika seseorang menyukai amalan tersebut, walaupun ia tidak berada di situ, maka ia seolah-olah menyertai perbuatan tersebut. (Misykat).
Sebuah hadits lain yang hampir sama berbunyi, "Barangsiapa keluar dengan alasan mencari nafkah untuk membiayai hidup anak-anaknya yang masih kecil, maka ia seolah-olah berada di jalan Allah. Dan barang siapa keluar untuk menolong orang tuanya yang sudah tua, ia juga berada di jalan Allah."
0 komentar:
Posting Komentar