Kamis, 29 Juli 2010

Memusuhi Ulama

Di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa telah ditulis bahwa membenci ulama dan ilmu adalah masalah yang sangat ditakuti bahayanya. Di dalam Kitab Fatwa Alamghiri disebutkan demikian,

"Barangsiapa membenci ulama tanpa sebab-sebab zhahiriyah yang dapat diterima, dikhawatirkan ia akan ditimpa kekufuran."

Ungkapan '...tanpa sebab-sebab zhahiriyah yang dapat diterima..' menunjukkan bahwa membenci ulama dalam perkara yang terdapat dalil syar'i atau sanggahan syariat, maka tidak ditakuti akan menjadikannya kufur, tetapi jika tanpa sebab-sebab demikian, sangatlah ditakuti dan membahayakan aqidah orang itu. Jika terdapat kemungkinan akan terjadi hal yang sangat ditakuti dan berbahaya ini, tidakkah sebaiknya setiap orang waspada dan berhati-hati dalam membenci ulama?

Memang benar, orang lain berhak menolak atau menyanggah ucapan ulama, tetapi hanya dapat disanggah dengan berdasarkan syariat dan nash-nash Al Qur’an atau hadits. Siapapun yang menolaknya, hendaknya ia mengajukan hujjah-hujjah shahih berdasarkan nash-nash tersebut. Ungkapan saya ini, bukan berarti apa yang dikatakan oleh ulama itu selalu betul dan tidak perlu dipertanyakan fatwanya. Tidak demikian. Selain Nabi saw., tiada seorang pun yang ucapannya tidak dapat ditolak dan dalam perbuatannya tidak ada kesalahan. Pasti terdapat kemungkinan salah pada diri semua orang selain Rasulullah saw.. Itulah ketetapannya, tetapi untuk menyatakan kesalahan atau penolakan terhadap suatu masalah yang disampaikan oleh alim ulama, syariat telah menggariskan aturan-aturan khusus, batasan-batasannya, derajat-derajatnya, kaedah-kaedahnya dan adab-adabnya, sehingga seseorang itu pada saatnya akan terbiasa dengan aturan-aturan ini dan tidak berhak menyanggah serta menolak nasehat ulama seenaknya saja.

Sekali lagi saya tegaskan, bahwa saya tidak menyatakan alim ulama itu tidak ada salah, aib dan cacat. Pasti mereka memiliki kesalahan dan cacat sesuai dengan keadaan zaman yang semakin rusak ini. Namun ada yang harus kita renungkan jika kita berusaha mencari-cari kesalahan mereka.

Apakah seseorang itu dapat dikatakan ulama, hanya karena ia telah berpakaian ulama atau telah terdaftar di suatu pondok pesantren atau dapat berceramah salah satu tema agama atau dapat mengarang buku agama? Apakah setiap gambaran orang di atas dapat digolongkan sebagai ulama? Renungkanlah! Tidakkah besar kezhaliman kita, jika kita memastikan bahwa setiap orang yang terlihat seperti ulama, kita golongkan sebagai ulama? Bukankah sudah kenyataan dalam urusan duniawi kita, bahwa ada benda yang asli dan ada yang palsu? Perhatikanlah benda-benda paling berharga di dunia ini, seperti emas, perak dan permata, tidakkah di antaranya juga ada yang palsu? Perhatikan juga bidang pengobatan yang pertolongannya sangat diperlukan oleh kita, bukankah dalam kedua hal ini; Urusan perhiasan dan tabib pengobatan, selalu lebih banyak yang tiruannya daripada yang aslinya? Tidakkah kita menjumpai bahwa yang tiruan seringkali lebih dominan daripada yang asli? Jika demikian, apakah dibenarkan kita menolak semua yang asli karena adanya yang palsu?

Sekarang saya bertanya kepada Anda, Benarkah kita harus mencemooh dan menolak para tabib karena adanya tabib-tabib yang tidak berpengalaman yang membahayakan nyawa seseorang? Apakah benar semua emas, perak dan permata, berlian harus kita buang semata-mata karena di dalamnya lebih banyak yang palsu daripada yang asli? Tidak, tentu tidak demikian.

Akan Anda dapatkan keadaan, pada saat dokter-dokter dan tabib-tabib pakar dan masyhur tidak ada, maka banyak orang akan pergi ke dokter-dokter kurang berpengalaman ketika keadaan sangat terpaksa. Mengapa? Karena keperluan dan karena kesulitan mendapatkan dokter ahli yang asli. Demikian pula akan Anda dapatkan, bahwa dalam keadaan mendesak, kadangkala banyak orang akan sengaja membeli emas palsu. Ini dikarenakan mereka sangat menginginkan emas tersebut atau sukar mendapatkan emas. Jika ada pun, biayanya sangat terbatas.

Sebaliknya, mengenai ulama, semuanya kita main pukul rata untuk dijadikan mangsa cemohan, semata-mata karena alasan lebih banyak yang pura-pura menjadi ulama daripada yang benar-benar ulama. Apakah kita memahami perbedaan dalam masalah ini? Jika memahaminya, mengapa kita berbeda sikap dalam hal ini? Apakah karena yang pertama ( urusan perhiasan dan pengobatan ) dianggap sesuatu yang sangat diperlukan, dan yang kedua ( masalah alim ulama ) bukan sesuatu yang sangat diperlukan? Apakah karena kedudukan yang pertama dianggap berguna, sedangkan kedudukan ulama dianggap tidak berguna? Banyak orang mencari tabib yang terbaik, tetapi jika yang ditemui dalam keadaan darurat adalah tabib yang kurang mampu, maka ia pun dianggap karunia, sehingga mereka siap melaksanakan nasehatnya dengan penuh ketaatan dan menilai baik pendapat serta rawatan tabib tersebut. Sedangkan dalam urusan ulama; Jika tidak ada ulama yang hakiki, maka mereka yang kita anggap tidak sempurna sikapnya dalam pandangan kita, kita akan pukul rata bahwa semua ulama dianggap tidak berguna.

Mari kita sedikit merenung. Ketika agama menjadi sangat diperlukan dan terdapat rasa kepentingan agama di dalam hati dan urusan kehidupan kita, misalnya ada suatu ganjalan di hati pada saat kita ditimpa musibah atau pada saat ada hajat dalam pernikahan anak-anak kita, tentu kita akan berusaha mencari seorang ulama yang benar-benar mapan. Hal ini seperti kita akan benar-benar mencari dokter yang ahli dan mahir, jika benar-benar ada kepentingan perobatan darinya, walaupun tidak sedikit tetap maut mengakhiri kehidupan saudara-saudara kita yang kita kasihi, sehingga dokter dan para pakar yang paling ahli pun tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan para dokter pun tidak mampu menghalangi kematiannya sendiri. Apakah ia dapat melakukan sesuatu atas keselamatan orang lain, jika maut telah ditentukan atasnya?

Misal lainnya seperti kepentingan intan berlian dalam pernikahan anak-anak kita. Jika memang tidak ada kemampuan untuk membelinya, apa salahnya jika pernikahan itu tanpa berlian? Mungkin akibat terburuk adalah akan diejek oleh ahli keluarga atau sanak saudara. Mungkin akan terdengar kata-kata yang tidak enak didengar, tetapi pernikahan akan tetap diteruskan.

Sedangkan peranan ulama sangatlah penting. Mereka berperan hanya karena agama. Tanpa mereka kehidupan ini tidak bermakna sama sekali. Tanpa mereka, kita tidak berguna berada di dunia ini, karena manusia telah diciptakan semata-mata untuk menjalani tugas agama. Al Qur’an menyatakan,

"Tidaklah Ku-jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." ( Az-Zaariyat : 56 ).
Inilah maksud penciptaan manusia, sehingga segala sesuatu untuk mencapai maksud ini adalah sangat penting.

Rasulullah saw. bersabda, "Perumpamaan ulama di bumi ini, seperti bintang-bintang di langit. Manusia mendapat petunjuk dari kegelapan hutan atau lautan. Apabila bintang-bintang tidak bercahaya, maka besar kemungkinan, para pemimpin negara menuju kesesatan. ( At-Targhib )

Rasulullah saw. bersabda, "Derajat yang terdekat dengan derajat kenabian ialah alim ulama kemudian para mujahidin ( fi sabilillah ) . Para ulama menunjukkan jalan menuju jalan yang telah dibawa dan diajarkan oleh para Rasul Allah. Sedangkan para mujahidin menunjukkan ke arah jalan tersebut dengan pedang-pedang mereka." ( Ihya Ulumuddin ).

Rasulullah saw. bersabda, "Allah, para malaikat dan apa yang terdapat di antara langit dan bumi, hingga semut di lubang-lubangnya serta ikan-ikan di lautan, mengirim rahmat ke atas pengajar kebaikan dan mendoakan untuk kebajikannya." ( Hadits Riwayat Tirmidzi ).
Ali ra. berkata, "Apabila seorang ulama meninggal dunia, terjadilah satu lubang yang hanya dapat dipenuhi oleh pengganti atau naibnya." ( Ihya Ulumuddin ).

Umar ra. berkata, "Kematian seribu ahli ibadah yang beribadah seluruh malam dan berpuasa sepanjang hari adalah lebih ringan daripada kematian seorang ulama yang memahami halal dan haram dalam syariat." ( Ihya Ulumuddin ).

0 komentar:

Posting Komentar

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP