Perbedaan pendapat dalam masalah agama di kalangan alim ulama adalah sebuah keniscayaan dan hal yang wajar. Dikatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat, selama perbedaan tersebut hanya terjadi di kalangan ulama, bukan merembet ke kalangan orang awam. Perbedaan yang terjadi, bukan hanya muncul di satu negara atau wilayah, dan tidak hanya terjadi di masa sekarang, tetapi sudah terjadi jauh-jauh hari sejak dulu, bahkan sejak jaman shahabat r.hum ajma’in.
Seringkali, kalangan orang awam menghadapi situasi yang membingungkan, ketika tokoh-tokoh ulama yang menjadi panutan mereka, berbeda pendapat dalam menyikapi satu masalah. Bahkan adakalanya, perbedaan pendapat di antara mereka demikian tajam sehingga tidak jarang menimbulkan benturan-benturan di kalangan para pengikutnya.
Lantas bagaimana sebaiknya menghadapi situasi seperti itu? Perbedaan pendapat yang tajam sehingga menimbulkan perpecahan, tentunya bukan solusi yang diinginkan semua pihak, kecuali jika ada pihak-pihak tertentu yang memang punya agenda untuk menceraiberaikan persatuan ummat Islam.
Maulana Zakariyya rah.a. seorang ulama besar dan amat disegani di wilayah India, memiliki pandangan dan solusi tersendiri untuk mengatasi hal ini. Beliau pernah mendapatkan pertanyaan dari muridnya, tentang perselisihan dan kuatnya perbedaan pendapat di antara 2 ulama kharismatik India, yaitu Maulana Thanwi dan Maulana Madani. Berikut adalah pertanyaan yang diajukan oleh murid Maulana Zakariyya rah.a.;
Siapakah di antara kedua orang waliyullah ini ( Maulana Thanwi dan Maulana Madani ) yang dalam pandangan Anda berada di atas jalan yang benar? Dan pendapat siapakah yang sesuai dengan Anda?
Jawaban dan penjelasan Maulana Zakariyya :
Dalam pandangan saya, pertanyaan yang Anda ajukan ini adalah sesuatu yang tidak berarti dan tidak perlu dijawab. Pernahkah Anda membayangkan betapa luasnya ilmu kedua waliyullah tersebut? Begitu pula amal shaleh dan ketakwaan mereka kepada Allah? Begitu pula kejujuran, kezuhudan dan taqarrub mereka dengan Allah serta pengorbanan mereka dalam menegakkan agama? Bagi saya yang hina ini, seandainya saya dapat meletakkan diri setaraf dengan mereka, maka di manakah kemampuan dan kelayakan saya untuk mengadili mereka yang berilmu tinggi dan memiliki kezuhudan, ketakwaan, serta kepribadian yang tinggi, yang takut kepada Allah, tegas dan keras dalam hukum agama? Dimana kemampuan saya untuk menyatakan apakah mereka itu benar atau tidak?
Yang layak menjadi hakim bagi kedua pihak ini adalah orang yang benar-benar mampu dan dapat memutuskannya dengan pertimbangan yang baik. Dan ia pun perlu mendengarkan sepenuhnya penjelasan dan pembuktian dari kedua belah pihak. Kemudian melakukan dialog dan perhatikan hujjah siapakah yang lebih utuh dan lebih kuat. Setelah melalui tahapan tersebut, barulah ia dapat memutuskan hujjah mana yang dapat diterima.
Yang pertama kali harus Anda sadari, bahwa saya saat ini dalam kondisi tidak dapat berbicara dan berkomunikasi dengan kedua orang ini ( Maulana Thanwi dan Maulana Madani ) Dan jika dengan alasan untuk kepentingan hujjah, sehingga saya dipandang mampu untuk berbicara dengan keduanya sebagai orang yang sejajar dengan mereka (padahal tidak), saya tetap merasa tidak berhak mengadili keduanya. Akhlak mereka yang demikian mulia tiada bandingnya, bagaimana saya dapat memberi pertimbangan atas mereka, sedangkan keadaan dan kemam¬puan saya seperti ini? Pada saat ini, walaupun saya dapat mengutarakan suatu pendapat saya yang terbaik, namun jika salah satu di antara mereka mengatakan bahwa pendapat saya salah, maka saya dapat menerima putusan mereka dengan segera dan penuh perhatian.
Kadangkala saya heran dan terkejut dengan sikap orang-orang yang tidak berilmu yang hanya dengan modal surat kabar, mereka menulis satu atau dua artikel di surat kabar atas masalah-masalah yang sepele, dan merekalah yang memulai kritikan dan kecaman terhadap dua orang ulama yang ilmunya seluas lautan itu.
Hendaknya diingat, siapapun yang ingin mengkritik atau menolak pendapat orang lain, pertama, dia harus mengetahui terlebih dahulu kekuatan dalil-dalil dan hujjah-hujjah orang tersebut. Adalah suatu kebodohan jika tanpa memahami masalahnya, lalu melancarkan kecaman terhadap orang lain, laksana seekor monyet yang menjumpai sekerat jahe, lalu tiba-tiba ia menganggap dirinya penjual obat. Rasulullah saw. bersabda bahwa di antara tanda-tanda Kiamat ialah,
"Setiap orang menganggap pendapatnyalah yang terbaik."
Sekarang kita dapat melihat dengan jelas kebenaran tersebut. Setiap orang menganggap pendapat orang lain salah dan hanya pendapatnya yang benar, tidak peduli apakah yang berkata itu orang tua, ulama atau orang yang berpengalaman.
Hakimul Umat Maulana Thanwi telah lulus dan menjadi seorang 'alim sejak tahun 1301 Hijriah dan sejak saat itu hingga sekarang --1357 Hijriah- ia sibuk dengan mengajar kalamullah dan kalamurrasul. Dalam masa itu, ia melatih dirinya dan orang-orang dalam hal ruhaniyah. Hampir setengah abad masa hidupnya, telah digunakan untuk mengajar fiqih, Al Qur’an, hadits, tafakkur, dan berbagai ilmu agama lainnya. Betapa banyak pengalaman dan waktu yang digunakan untuk urusan ilmu dan pendalaman Al Qur’an serta fiqih, sehingga bagaimana mungkin orang-orang lalai dan bodoh dapat mengatakan pendapat beliau tidak beralasan dan salah?
Begitu pula dengan Amirul Hind Sayyid Hussain Ahmad Madani. Beliau lulus pada tahun 1316 Hijriah sebagai seorang ulama. Hingga sekarang, ia sibuk mengajar dan membimbing dirinya dan orang lain dalam bidang keilmuan dan keruhanian, setelah beberapa lama ia berada di bawah bimbingan Syekhul Hind Mahmudul Hasan rah.a. yang menjadikannya seorang ahli tasawuf. Kemudian sebagian besar sisa umurnya dihabiskan dalam perjuangan politik menentang imperialis Inggris untuk kepentingan kaum muslimin di India, sehingga banyak dari masa hidupnya telah dihabiskan di dalam penjara baik di India ataupun di luar India (seperti di kepulauan Malta, Lautan Mediteranian).
Saya bertanya kepada Anda, Adakah yang dapat menandingi kedua ulama ini dalam pandangan keduanya terhadap masa depan (kaum muslimin) India? Apakah mereka adalah orang-orang yang salah, sehingga orang-orang seperti mereka menjadi sasaran celaan orang-orang bodoh atas kebijakan pandangan mereka? Pantaskah orang seperti saya berani menilai pandangan alim ulama tersebut? Pandangan saya terlalu kerdil, ibarat kemampuan anak-anak yang baru memasuki madrasah.
Ketika saya melihat nama kedua pribadi yang mulia ini tersiar dan tertulis di surat kabar dan poster-poster di seluruh tempat, hati saya sesak dengan emosi dan rasa penuh terkejut, dan bertanya, "Apakah yang terjadi dengan dunia saat ini? Revolusi apakah yang sedang berlangsung? Apakah sudah hilang rasa hormat dan memuliakan alim ulama yang berkepribadian mulia tersebut dari dunia ini?"
Sekiranya yang menyatakan perselisihan mereka adalah seorang ilmuwan atau cendikiawan, mungkin masih pada tempatnya, tetapi ternyata kritik-kritik ini datang dari mereka yang sesekali menulis di surat-surat kabar atau media lainnya dengan ilmu yang sangat terbatas. Bahasa yang digunakan oleh mereka pun sangatlah tidak pantas, bahkan jika ada orang tua yang demikian marah pun, akan jauh dari melontarkan kata-kata tersebut kepada anak-anak mereka. Rasa kesal dan keheranan saya tidak berbatas ketika melihat hal ini.
Kita hendaknya membicarakan dan menilai sesuatu hanya atas permasalahan yang telah kita ketahui dengan jelas. Oleh sebab itu, keputusan atas kedua ulama yang bertentangan ini hanya dapat diambil setelah benar-benar mendalami dalil-dalil dan hujjah-hujjah mereka. Sekiranya terdapat kesalahan yang bertentangan dengan nash-nash syariat, hendak¬nya kita menolak pendapat mereka. Sebab hal-hal yang bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya sama sekali tidak dapat diterima. Juga sama sekali tidak dibenarkan bagi pengikut mazhab yang empat menentang fatwa suatu masalah yang timbul dari hadits yang sama. Dalam hal ini mereka membuat rumusan yang berbeda menurut nash yang sama, sehingga mereka adalah pengikut nash hadits yang sama. Oleh sebab itu, adalah suatu kejahilan apabila kita membuat keputusan menentang atau mengecam salah satu pihak. Saya ingin memberi peringatan yang sangat keras kepada siapapun yang berani terburu-buru menuduh atau mengingkari salah satu dari alim ulama yang sedang terlibat perselisihan ini; Pikirkanlah dengan mendalam, sebelum membuat keputusan. Sedapat mungkin jagalah lidah kita dari mengeluarkan kata-kata kasar yang menyerang mereka. Jangan sampai kita menyerang alim ulama dengan kecaman-kecaman yang buruk. Renungkanlah dahulu, baru ambil kesimpulan. Jika tidak, maka sebaiknya tidak berkomentar apapun tentang mereka.
0 komentar:
Posting Komentar