Kamis, 15 Juli 2010

Tidak Boleh Gegabah Dalam Memvonis Ulama yang Berbeda Pendapat ( Bag 2 )

Umar bin Abdul Aziz ra., seorang Khalifah Bani Umayah yang sering dijuluki sebagai Umar kedua, apabila ia berbicara mengenai perbedaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, ia akan menjelaskannya dengan berkata,

"Dari darah yang mereka alirkan, Allah telah membersihkan tangan-tangan kita, lalu mengapa kita harus mengotori lidah kita dengannya?"

Mungkin ada orang yang berkata bahwa mereka adalah para sahabat Nabi yang mulia. Tentu mereka lebih dimuliakan dan diangkat derajatnya daripada kita. Jadi, bagaimana bisa kita membandingkan para sahabat dengan orang-orang seperti kita?

Saya ( Maulana Zakariyya ) katakan kepada mereka, 'Memang betul, tetapi yang berbicara dan menyampaikan hal itu ialah Umar bin Abdul Aziz, seorang tabi'in berjulukan 'Jalil Al Qadir' ( berkedudukan tinggi ).' Dan beliau menolak berkomentar lebih jauh atas perbuatan para sahabat, Jika beliau saja merasa tidak berhak, apalagi kita?

Kisah Musa as. dan Khidir as. yang sangat masyhur dikisahkan dalam Al Qur’an. Banyak hadits Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa, "Semoga Allah merahmati Musa as., seandainya beliau dapat menahan dirinya, maka beliau akan lebih banyak lagi mendapatkari hikmah keajaiban yang terdapat pada Khidir as. yang dapat diketahuinya."

Rasulullah saw. juga bersabda bahwa Isa as. bersabda, "Ada tiga jenis masalah. Pertama jalan kebenaran ( hidayah ) itu jelas, maka teruslah mengikutinya. Kedua, kesesatan ( kepalsuan ) itu nyata dan jelas, maka jauhilah. Ketiga, ada keraguan ( Syubhat ) di dalamnya, maka merujuklah kepada ahli yang pakar mengenainya." ( Hadits Riwayat Thabrani – dari Kitab Mazmaul Zawaid).

Rasulullah saw. bersabda, "Seseorang yang tergesa-gesa dan yang demikian berani berfatwa tentang masalah agama, adalah berani mengambil jalan ke neraka." ( Hadits Riwayat Darami ).

Abdullah bin Mas'ud ra. berkata bahwa, "Orang yang menjawab setiap pertanyaan mengenai fatwa adalah gila." ( Darami ). Maksudnya, kebanyakan pertanyaan yang ditanyakan itu menyinggung masalah-masalah yang tidak perlu dan tidak bermakna.

Telah menjadi satu kebiasaan pada hari ini bahwa pertanyaan yang diajukan itu bukan untuk mendapatkan ilmu dan diamalkan, tetapi untuk merendahkan, menghina dan menyulitkan seseorang. Oleh sebab itu, kita perlu berhati-hati atas masalah atau pertanyaan yang demikian. Juga sering kali masalah-masalah yang dikemukakan itu samar dan meragukan. Jika demikian, suka atau tidak suka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan keberanian yang tolol. Dalam berbagai hadits Rasulullah saw. bersabda, "Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat yang 'syubhat' (ragu-ragu), maka berhati-hatilah mengambilnya."

Nabi saw. bersabda,

"Apabila suatu urusan diletakan ke atas seorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya." (Bukhari)

Demikian juga keadaan orang jahil yang duduk di kalangan ulama shaleh, lalu ia mendahului alim ulama tersebut dalam memberi fatwa. Mengenai hal ini terdapat hadits Rasulullah saw. yang berbunyi, "Adalah tanda Kiamat bahwa ilmu itu dicari dari orang yang dangkal ilmunya."

Maksud saya menyampaikan hadits-hadits dan atsar ( kata-kata ) para sahabat ini, untuk menerangkan masalah yang tidak jelas hukumnya, yang tidak ada nash syariat yang jelas atasnya, maka tidaklah wajar kita menolak alim ulama hak dalam usaha mencari suatu keputusan atau rumusan darinya ( istinbat ). Khususnya bagi masyarakat awam, mereka perlu menjaga lidahnya dari mengeluarkan kata-kata yang menentang ulama. Sedangkan bagi orang-orang yang sederajat kealimannya, saya setuju bahwa mereka berhak berbeda pendapat sesuai dengan keyakinannya atas sesuatu tanpa ada keraguan.

Walau bagaimanapun, jika ada sesuatu yang bertentangan dengan syariat yang jelas, kita harus tidak menaatinya, berdasarkan sabda Nabi saw. yang berbunyi,

"Janganlah menaati makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq (Allah)." ( Tidak perlu mentaati perintah makhluk yang tidak menuruti perintah Allah ).
Demikianlah keputusan yang jelas!


Masalah yang kita hadapi sekarang adalah masalah kebajikan dan manfaat bagi kaum muslimin. Dan masalah yang diperselisihkan oleh kedua Ulama ini ( Maulana Thanwi dan Maulana Madani ) termasuk dalam kategori itu. Dan kita juga memiliki kaidah-kaidah syariat yang berikut ini:
1. Segala urusan itu bergantung pada maksudnya. Dan sesuatu itu dianggap halal atau haram menurut maksud tujuannya.
2. Boleh menanggung bahaya atas diri pribadi demi mencegah bahaya atas kalangan umum.
3. Barangsiapa ditimpa dua musibah, hendaklah ia memilih yang teringan resikonya.
4. Jika berkumpul yang haram dan yang halal, maka yang haram dikalahkan.

Selain kaidah-kaidah di atas, terdapat kaidah yang berbeda, sehingga untuk menarik kesimpulan yang tepat dari kaidah-kaidah ini bukanlah pekerjaan atau tugas setiap orang (tidak ringan). Bukanlah pekerjaan orang-orang biasa untuk memutuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Sangatlah jahil lagi sombong, seseorang yang tidak memahami kaidah-kaidah syariat dan tidak memahami batasan-batasan syariat, lalu ia berani berfatwa hanya dengan melihat terjemahan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits. Dapatkan masalah ini berlangsung demikian saja?

Perdebatan yang terjadi pada saat ini terletak pada kaidah tersebut. Tujuan utamanya ialah bagaimana agar Islam dan kaum muslimin mendapatkan faedah dan agar terhindar dari kerusakan dalam urusan agama. Inilah maksud yang terkandung dalam perselisihan kedua syekh tersebut. Pemahaman inilah yang perlu dimiliki oleh setiap orang, sehingga orang awam pun akan terhindar dari polemik tersebut.

Dengan demikian, masih mungkinkah prasangka buruk terhadap kedua syekh tersebut terjadi? Dan patutkah keduanya dikatakan merugikan umat Islam?
Pada saat ini, kaum muslimin dihadapkan pada dua jalan yang masing-masing mengandung bahaya. Hal ini disadari oleh kita semua, namun hal yang terpenting adalah; jalan manakah yang tingkat bahaya-nya lebih besar dan jalan manakah yang bahayanya lebih kecil? Bencana manakah yang dapat dilewati dengan tabah ( tahammul ) dan bencana manakah yang sama sekali tidak dapat ditanggung? Kesulitan dan kesengsaraan manakah yang khusus menimpa orang-orang tertentu dan kesulitan manakah yang akan menimpa kaum muslimin secara umum?

Kita dapat mengumpamakan kedua ulama ini sebagai pengemudi-pengemudi kendaraan yang akan membawa kendaraannya ke Makkah Mukarramah. Mereka terpaksa memilih satu di antara dua jalan. Kedua jalan itu berdebu, dapat mendatangkan bahaya, berlumpur, serta banyak perampok yang merajalela di perjalanan. Pertanyaannya adalah; jalan manakah yang lebih rendah resiko bahayanya? Jalan manakah yang sangat membahayakan? Jalan manakah yang dapat terhindar dari halangan-halangan tersebut sehingga dapat sampai ke tempat tujuan? Jalan manakah yang akan menjerumuskan kita ke dalam bahaya? Jalan manakah yang ditakuti bahayanya datang dari penguasa setempat, sehingga dapat menangkap atau membiarkan kafilah berlalu?

Dalam kondisi demikian, apakah kita akan menyalahkan salah seorang dari pengemudi tersebut hanya karena berbeda menetapkan jalan tertentu? Apakah ada tanggungjawab lain yang akan dibebankan terhadapnya apabila dia membuat keputusan setelah membuat pertimbangan yang mendalam? Dapatkah dia menjanjikan jaminan keselamatan dari bahaya ataupun dia dapat memberi kepastian akan sampai ke tempat tujuan?

Pikirkanlah hal ini! Siang dan malam, kedua pengemudi ini berpikir dengan sungguh-sungguh mencari jalan agar para pengembara dan pejalan dapat sampai ke tempat tujuan mereka dengan selamat. Perlukah mereka dipuji atau memang tugas kita mengutuk dan menjelek-jelekkan nama serta harga diri mereka? Patutkah mereka menerima pertolongan dan kerjasama kita agar memudahkan kerja mereka, atau sebaliknya kita menyusahkan jalan mereka dengan memberi mereka berbagai rintangan dan cemoohan? Rintangan yang ditujukan kepada mereka, tidakkah hal itu justru akan lebih membahayakan keimanan seluruh umat ini, sebab umat dapat terputus dari petunjuk mereka? Adakah mereka mendapat manfaat darinya?

Seseorang yang telah memikirkan dengan mendalam berdasarkan pengalaman dan bashirahnya yang luas, ia berhak memilih jalan yang kurang membahayakan, yang memungkinkan dapat sampai ke tujuan. Saya ( Maulana Zakariyya ) ingin bertanya lagi, bagaimanakah hal ini dapat dikatakan adil, jika ada orang lain yang juga tidak kalah kepakaran dan pengalamannya, serta memiliki mata hati yang dalam lalu ia memilih jalan yang lain? Wajarkah ia dikecam, dihina serta ditentang?

0 komentar:

Posting Komentar

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP